Minggu, 21 September 2014

Kisah Kereta dan Abang Angkot (KK dan AA)

Pujianku di Uji oleh Human Error dan Sistem.

Aku baru dua kali naik kereta dari Sukabumi Bogor Depok (UI), Sejak tahun 2011 ada urusan rutin ke Sukabumi tepatnya ke Parungkuda. Dalam perjalanan Jakarta-Sukabumi yang pasti macet saya melihat Rel Kereta dengan Stasiunnya yang masih aktif di Parungkuda lalu saya tanya pada penduduk setempat katanya ada aktivitas kereta  pagi dan sore (sayang waktu itu jadwalnya tidak fleksibel) . Aku berkeinginan sekali kalau ke/dari Sukabumi naik kereta karena jalur Bus demikian padat bahkan pada waktu itu jalannya berlubang-lubang yang tentunya menambah alasan untuk bermacet_ria. Alhamdulillah tidak lama berselang kereta Rute Bogor Sukabumi dibenahi. 

Pertama naik pada Juli 2014  dari Parungkuda (Sukabumi) ke Paledang (Bogor) dilanjutkan lagi dengan jalan kaki ke Stasiun Bogor naik kereta arah stasiun UI Depok, Sumpah ! (lebai mungkin) aku terkaget kaget karena baru melihat Stasiun Bogor dengan wajah dan sistem yang baru, juga baru kali itu melihat di Indonesia BUMN melayani orang banyak dari semua lapisan masyarakat demikian teratur dapat dilakukan, karena kecil kemungkinan penumpang gelap ikut naik kereta. Dengan segala pujian dalam hati aku lontarkan bahwa Komuter Line telah memberikan pelayanan yang baik dengan tarif yang relatif murah tapi layanan prima. Aku berseloroh bahwa dengan managemen baru Copet Profesional dan Copet berseragam (kondektur) kehilangan mata pencahariannya, kereta lebih terawat dan tidak ada lagi rombongan penguasa gerbong yang berperilaku tidak pantas didalam gerbong seperti berjudi (menurut cerita orang) dan pria pria berperilaku sex menyimpang dapat ditekan dengan adanya gerbong khusus wanita.

Kali yang kedua aku naik kereta dari Parungkuda ke Paledang pada tanggal 21 September 2014, jadwal pagi naik pukul 6 tiba pukul 7. Lalu bergegas menuju Stasiun Bogor, istriku seperti biasa antri tiket. (dari sini kenapa cerita ini disampaikan). Setelah mendapat kartu, istri saya ngedumel/menggerutu ke saya kalau kembaliannya kurang (istri lebih sering naik kereta), Jadi sudah terekam dibenak istri saya kalau ke UI depok Rp.7.500. (Rp.2.500 untuk tarif dan Rp.5.000 jaminan kartu yang ditukar uang sampai di stasiun tujuan). Sa'at itu kita berdua hitungannya pasti Rp.15.000 dengan uang Rp.50.000 tapi dikembalikan hanya Rp.33.000 jadi kurang Rp.2.000
Hari itu Minggu, Distasiun UI Depok sepi penumpang hanya satu-dua orang saja, jadi rasa maluku tidak sampai menyebar kecuali dengan petugas di pintu keluar. Kejadiannya ketika aku mau keluar, pintu otomatis tidak bisa terbuka saudara-saudara ? lalu kita dihampiri petugas, setelah dilihat katanya kurang tarif jadi terkena pinalti, lalu petugas minta struk pembayaran (tidak dilihat dari awal oleh kami). Ternyata pada struk tertera Stasiun Depok dan jumlah pembayaran Rp.14.000 (tambah aneh lagi kan? kurangnya jadi Rp.3.000. ya sudahlah kita yang teledor). Istriku mengatakan bahwa ia menyebut UI Depok mungkin karena ramai di loket yang terdengar Depok. Kalau saja saya melihat struk pembayaran dari awal saya juga bingung sendiri, Turun di Stasiun Depok tidak praktis saya lakukan, karena tujuan selanjutnya yang lebih praktis dan masuk akal kami turunnya di Depok baru, Pondok Cina atau UI Depok biar bisa nyambung ke arah Kp Rambutan. Akhirnya kartu PTKA tidak bisa diuangkan (kalau mau diuangkan urus di Bogor???). Tapi kalau tahu kejadiannya sampai begitu lebih baik turun di Depok lama lalu naik angkot 2 kali. Kita rugi dua kali, pertama uang yang mungkin tidak terlalu materi tapi rugi malu yang seolah olah kami mencuri jarak.     
Pertanyaannya adalah: "Apakah saat diloket, jika kita protes ketidaksesuaian jurusan pada struk pembayaran yang tidak sesuai keinginan dapat dilayani ?"
Kejadian ini menjadi pelajaran buat saya, bahwa tidak boleh mengabaikan sesuatu yang dianggap tidak materi karena dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar dan kerugian moril dihadapan orang yang sebenarnya kita tidak sengaja. 
Kejadian serupa (kesalahan manusia). Setelah meninggalkan Stasiun UI menuju Margonda naiklah kami angkot 112 arah Kp. Rambutan, lewat Akses UI, jl. Raya Bogor sa'at berada didalam angkot (kami didepan bersama supir) ada wanita muda akan naik bertanya (logat jawa Tegal dan sekitarnya) ke sopir "lewat Gandaria-siti ga pak?" jawab sopir "Iya Mbak !" aku tanya ke sopir "Gandaria City yang mana ?" jawab sopir "Yang saya tau sih Gandaria itu ajah" (dalam hati saya bertanya tanya "di jalan Raya Bogor ada Gandaria , tapi Gandaria City yang mana? apa Mall di samping Rumah Sakit Tugu Ibu Ya?" saya tidak lanjutkan karena tengah galau dengan kejadian di stasiun tadi, tapi saya punya firasat bahwa yang dimaksud adalah Gandaria-City Dekat Blok M. Jakarta Selatan. Untuk kesana, dari Margonda ada bus Debora yang rutenya mendekati arah sana). Itulah pengalaman yang saya alami dan lihat sendiri untuk menjadi pelajaran buat saya dan mungkin juga buat pembaca supaya peduli pada hal-hal yang kita anggap sepele agar tidak mengakibatkan ketidaknyamanan bagi kita dan mungkin keselamatan orang lain.                   
Terlepas kejadian tersebut, saya tetap apresiasi terhadap #PTKA yang telah berbenah mengaaktifkan kembali jalur kereta yang sekarat menjadi bergairah kembali (sepenglihatan saya) dan Komuter Line yang terbukti efektif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar